Arena dialog: Pertanyaan yang belum sempat dijawab dalam Webinar tgl 3 Juli 2021:

Apakah Gereja Katolik / KWI memiliki kesepahaman tentang dasar-dasar komposisi liturgis? Apakah semua penentu kebijakan liturgis se-Indonesia menganut nilai-nilai PML? - Dari Sdr. J.C. Pramudia Natal

Lain dengan Pemerintah Indonesia, Gereja Katolik tidak diurus secara sentral (melalui KWI), tetapi tiap keuskupan adalah otonom. Tentu ada kesepahaman nasional juga mis. tentang perjuangan hak kebebasan agama, namun nyanyian liturgi tidak termasuk di situ.

Artinya tiap Keuskupan punya Komisi Liturgi yang kompeten untuk menentukan buku nyanyian umat yang dipakai, untuk menyelenggarakan Lokakarya Komposisi (LOKO) lagu liturgi, seperti yang sudah banyak terjadi a.l. dalam kerjasama dengan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta.

Dalam persiapan LOKO dibicarakan tema-tema lagu yang ingin diciptakan, gaya musik (suku) mana yang akan dijadikan dasar untuk inkulturasi, cara publikasi lagu baru dsb. Dengan demikian "nilai-nilai" yang dianut ditentukan bersama-sama dari Keuskupan dan PML dan dipegang juga sesudah LOKO. -

Namun ada juga keuskupan yang merasa tidak perlu mengundang LOKO bersama team PML. Itulah kebebasan dari tiap keuskupan. Maka PML pun tidak memaksa siapapun untuk mengikuti pola PML, karena kami yakin umat sudah dewasa untuk memilih apa yang paling baik.

Apakah dalam menyusun sebuah karya komposisi musik (Liturgi) inkulturatif ada pakem tertentu terutama untuk menjaga kekhasan budaya asal dan budaya baru? Saya tegelitik melihat penggunaan angklung di Aru. - Dari Sdr. Leonard Joseph

Tentu ada pakem untuk menciptakan lagu inkulturasi. Tentu kekhasan budaya asal itulah yang dilihat sebagai "mutiara" yang ingin diperindah. Dan ini terlaksana dalam gaya bernyanyi (halus atau mantap; legato atau non legato); dalam alat musik pengiring yang menentukan irama, tangganada, nada hiasan, dsb.

Namun ada daerah yang miskin alat melodi seperti misalnya kepulauan Aru yang mengutamakan alat perkusi (gendang dan gong). Meski Angklung berasal dari Jawa Barat, namun tidak harus dimainkan seperti di Bandung. Tergantung inspirasi dari penyusun iringan untuk menambah nuansa seni pada lagu Alor. Pakem adalah gaya musik Alor yang pentatonis dan ritmis.

Apakah PML punya program ke depan untuk Lokakarya dengan sistem Daring? Karena di Pulau Nias sudah lama tidak mengundang team dari PML Yogya. - Dari Bp. Amonius Halawa, S.Ag., MM

Lokakarya komposisi sampai sekarang selalu dilaksanakan secara "Luring" artinya dalam pertemuan real. Karena terdapat interaksi banyak sekali di antara semua peserta; karena team PML yang datang dengan tangan kosong, perlu diisi dengan kesan-kesan dari pengalaman musik tradisional, dari cerita para peserta. Perlu kami mendampingi waktu sebuah lagu baru lahir "ex nihilo" dari nol, dan berkembang menjadi seni.

Namun siapa tahu, barangkali pada suatu ketika terpaksa Lokakarya Komposisi dijalankan secara "Daring"? sebagai eksperimen? Namun sampai sekarang ini belum termasuk program PML.

Paroki Bintaro Jaya di Tangsel beragam warganya: Jawa, Batak, NTT, Tionghoa. Apakah dapat dikatakan mereka memiliki tradisi musik tradisi yang hidup? Tradisi Liturgi tahunan kami sebelum Pandemi, setiap bulan selalu ada satu minggu yang menggunakan lagu-lagu inkulturasi. Pertanyaan saya: apakah hal yang membuat gairah hidup liturgi ini bisa diteruskan pada era pandemik dengan hanya satu organis dan song leader? - Dari Sdr. Dono Sadana

Pandemi memang merusak liturgi: misa inkulturasi dengan paduan suara serta iringan alat musik khas sesuai dengan gaya lagu, sekarang tidak mungkin. Perayaan Liturgi dengan imam, pembaca, organis dan dirigen saja (dan dengan komuni batin), itu bertentangan total dengan tujuan liturgi sebagai perayaan umat. Paling-paling kita harap bahwa keadaan darurat ini berakhir.

Namun sebenarnya peluang dari "misa life streaming" tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Diizinkan bahwa dihadiri 15-30 orang, tergantung dari besarnya gedung gereja. Mengapa kor dibatasi pada 4 orang saja? atau malah ditiadakan? Mengapa lagu inkulturasi tidak diiringi dengan beberapa alat musik tradisional selain organ? - Mengapa kamera dalam misa life streaming hanya berfokus pada imam? - Namun ini masalah lain, yang perlu didiskusikan dalam masing-masing paroki.

Apakah musik inkulturasi bisa menggunakan alat musik dari daerah masing-masing? - Dari Sdr. Eusebuis Peter Vercelly

Konstitusi liturgi dari Konsili Vatikan II menyatakan: "Alat-alat musik lain (selain organ) dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam Liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman." (SC no. 120) Artinya semua alat musik tradisional / daerah dapat dipakai untuk mengiringi lagu inkulturasi, terutama dari daerah ybs. Namun ada juga alat musik, mis. gendang, suling bambu, gong, yang dapat disesuaikan dengan pola musik selain daripada tempat asalnya.

 Bagaimana menempatkan musik gereja yang sifatnya inkulturasi di tengah-tengah menjamurnya musik gereja kontemporer di abad ke 21 ini? a) Melihat perkembangan teknologi (Youtube), generasi sekarang sudah terpengaruh dengan musik kontemporer yang enak didengar dan lebih populer. b) Masyarakat di pedalaman yang sudah mudah mendapatkan akses internet, senang mendengar musik kontemporer di medsos. - Dari Briand Tetelepta

Kita sedang mengalami perubahan yang cukup besar; tidak hanya dalam dunia ekonomi dan komunikasi, tetapi juga dalam musik gereja. Pasti akan ada dampak dan perubahan, bahkan sekarang sudah nampak juga: Organ pipa diganti dengan Electone; suara suling bambu ditirukan dengan register "Panflute" pada organ Stagea; paduan suara tampil secara virtual dengan kombinasi rekaman suara dari masing-masing penyanyi. Hebat.- Saya juga alami bahwa orang Ngada di Flores yang pada tahun 1970an bernyanyi dan menari dengan iringan "go laba" / gong dan gendang, pada tahun 2000 mengiringi perayaan pernikahan dengan band "karena itu lebih modern".

Namun belum tentu semua yang baru adalah lebih baik. Mengapa tiap tahun (kecuali tahun 2020 karena Pandemi) ribuan muda/i pergi ke Taizé dan menyanyikan lagu yang jauh berbeda dengan lagu kontemporer? Mengapa paduan suara muda/i yang tiap tahun ikut dalam pentas uji Kursus Musik Gereja PML menyanyikan lagu inkulturasi dengan semangat? "Der Geschmack kommt beim Essen" / "Enaknya sebuah hidangan baru muncul di waktu dicicipi" kata orang Jerman. Mungkin lagu inkulturasi belum begitu dikenal karena bunyi lagu pop rohani lebih kuat. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi kelak.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini