Inkulturasi Musik Liturgi Mas Kini[1]

Nampaknya banyak orang masih bingung apakah inkulturasi musik liturgi termasuk nostalgia, hobby sejumlah orang, maka sebaiknya ditinggalkan saja untuk memberi tempat kepada musik kontemporer lain.

Tiga pertanyaan yang saya bahas di bawah ini:

1. Apakah perlu inkulturasi musik liturgi di Indonesia, mengingat musik kontemporer makin berkembang juga?

2. Apakah musik tradisional Indonesia yang kedaluarsa dapat menjadi sumber untuk inkulturasi?

3. Apakah Gereja Indonesia sebagai Gereja universal masih perlu memperkembangkan identitasnya melalaui inkulturasi?

ad 1. Apakah perlu inkulturasi musik liturgi di Indonesia

Musik Indonesia jelas sedang berkembang dan mencari identitasnya: Ada orang yang berkiblat pada musik gaya barat / “klasik”; orang lain mencoba memperkembangkan "musik kontemporer", termasuk musik pop daerah. Musik gereja inkulturatif yang diperjuangkan oleh PML termasuk juga dalam proses mencari identitasnya.

Belajar dari musik klasik barat itu pasti baik; karena musik Bach, Mozart, Mendelssohn dll. terbukti memuat mutu; kalau tidak, pasti musik klasik sudah masuk kotak. Kita belajar bermusik dengan disipin, cakrawala pandangan kita diperluas hingga kita keluar dari kesempitan visi lokal. - Namun, dapatkah kita ungkapkan identitas kita sebagai pemusik / pencinta musik di Indonesia pada abad 21 ini dalam musik klasik barat?

Perkembangan musik Indonesia "dari bawah" sebagai "musik kontemporer" itu sebenarnya baik; karena segala kreativitas merupakan suatu bukti hidup. - Namun, apakah pantas hasil eksperimen langsung diorbitkan? Kesan "kampungan" yang akan muncul mau tidak mau akan menutup jalan. - Hal serupa berlaku juga untuk pop daerah: dengan amat mudah jiwa dari musik tradisional hilang, kalau orang mengalah dengan godaan mau memperindah musik pentatonis dengan musik diatonis.

Musik Inkulturasi liturgi termasuk juga dalam usaha untuk mencari identitasnya sebagai musik Indonesia. Sejak tahun 1971 PML berusaha untuk tujuan ini, dan terutama sejak tahun 1984 dalam bentuk Lokakarya Komposisi (LOKO) di daerah. Hingga tahun 2021 telah terkumpul 1657 lagu liturgi yang khas Indonesia / inkulturasi. Ratusan dari lagu baru ini telah diterbitkan dalam buku Madah Baklti. Apakah belum cukup? -

Inkulturasi bukanlah suatu paket / obyek kerja seperti Pemilu atau faksinasi. Inkulturasi musik liturgi adalah suatu proses yang berjalan terus - sudah hampir 100 tahun:

Tahun 1925 Pak Harjosubroto mengarang lagu Gereja Pelog untuk mengungkapkan perasaan iman sebagai orang Jawa. Dalam wawancara dengan saya tahun 1972 beliau mengungkapkan maksudnya kira-kira sbb.: Waktu membawakan lagu Gregorian dalam ibadat di Kweek School Muntilan saya bayangkan bagaimana lirik Latin kiranya akan berbunyi dengan lagu pelog? Dan saya coba. Mula-mula dengan kata Latin, kemudian dengan syair Jawa, misalnya "Atur roncen", "Sri Yesus mustikeng manis". Untung Bp. Harjosubroto mendapat dukungan dari seorang Bruder Belanda, Br. Clementius FIC, yang memungkinkan bahwa lagu-lagu baru tsb. tahun 1926 mendapat tanggapan lebih luas, bahkan dari Bp. Uskup van Velsen (Uskup Jakarta waktu itu) yang menyaksikan pentas lagu-lagu baru dalam kunjungan ke Yogya.[2] -

Mgr. van Bekkum SVD Tahun 1945 mendorong para guru musik di Ruteng / Manggarai untuk memperkaya lagu Gereja dengan keindahan lagu Manggarai. Alasannya pastoral: supaya lagu Gereja lebih mengena di hati orang. Hasil langkah inkulturasi dikumpulkan dalam buku "Dere Serani" yang masih dipakai sampai sekarang di Keuskupan Ruteng.

Mgr. Sugyapranata, Uskup Agung pertama Semarang meningkatkan langkah perintis Bp. Harjasubrata dengan (1956) mendirikan panitia di Yogyakarta untuk memajukan "gendhing Gereja".

Tahun 1971 didirikan Pusat Musik Liturgi dengan tujuan khusus untuk memajukan inkulturasi musik Gereja. Dasarnya adalah Konstitusi Liturgi dari Konsili Vatikan II tahun 1964 dimana dikatakan: “Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka.” (Konst. Lit. no. 119)

Musik Gereja ternyata sejak awal berkembang: Lagu Gregorian merupakan inkulturasi dari mazmur Yahudi. Lagu Renaissance merupakan inkulturasi / kreasi baru dimana lagu Gregorian ditingkatkan dalam budaya humanisme (polifoni klasik). Iringan lagu Gereja dengan organ, orkes merupakan inkulturasi di masa Barok. Masa Romantik (abad 19) memperkaya musik Gereja dengan ekspresi; terjadilah penggeseran dari intelek kepada perasaan, itulah inkulturasinya. Sedangkan inkulturasi abad 20-21 dapat dilihat dalam perkembangan bentuk lagu Taizé, dan tentu dalam lagu baru yang lahir di daerah-daerah Indonesia. - Artinya dari masa ke masa terjadi inkulturasi, karena musik Gereja ternyata berkembang terus. Ini bukan "paket" yang selesai pada abad 21 tetapi termasuk hakikat dari segala yang hidup.

Ini tidak hanya terjadi dalam musik liturgi; Gereja Katolik mencari identitasnya selama 50 tahun terakhir sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II, a.l. dalam teologi: dengan dialog lintas agama serta dalam identitasnya sebagai Gereja untuk dunia – bukan untuk dirinya sendiri; dalam karya sosial di samping liturgi dan sebagai pelaksana liturgi dalam hidup. Struktur Gereja berkembang: dari Gereja hierarkis menjadi Gereja awam (sebenarnya). - Selain itu perkembangan identitas Gereja nampak juga dalam membangun gedung Gereja menurut arsitektur tradisional. - Dan proses ini belum selesai tetapi berjalan terus. "Gereja yang tidak berkembang adalah Gereja yang mati", kata Paus Fransiskus.- Maka sudah jelas: Inkulturasi musik Gereja Indonesia perlu!

ad 2. Musik tradisional sebagai sumber inkulturasi?

Musik tradisional dan budaya Indonesia erat hubungannya dengan adat. Yang sakral tidak boleh dirubah – contoh Gamelan Skaten di kraton Yogyakarta. - Masalahnya: bagaimana musik Gereja dapat berkembang dari musik tradisional yang statis? Bahaya musik Gereja pun menjadi statis. Bahaya musik inkulturasi Gereja dinilai kolot, tidak cocok dengan zaman sekarang.

 Untuk menjawab masalah ini perlu kita belajar sedikit tentang apa itu inkulturasi: Inkulturasi bukan pelestarian budaya. Tetapi Inkulturasi adalah suatu proses timbal balik: menimba dari nilai budaya dan menyumbangkan nilai pada budaya:

Syarat untuk inkulturasi musik liturgi (lihat teks konstitusi di atas): Musik tradisional masih hidup. Musik tradisional membentuk sikap religius. Kreasi baru, bukan kontrafaktur.

Yang tidak mungkin menjadi lagu inkulturasi: Lagu yang berkaitan dengan tahayul Lagu pergaulan (mis. Mencari jodoh).

 Dalam Lokakarya Komposisi (LOKO) PML menemukan "resep" dengan 6 langkah untuk menanangi inkulturasi:

no 1. Para peserta LOKO dibuat sadar akan kekayaan budaya mereka – dengan dikumpulkan lagu tradisional dan ditanyakan “apa arti ini?”, "mengapa harus begitu?" Para narasumber terpaksa berefleksi dan menemukan mutiara-mutiara, para peserta mulai menjadi entusias.

 no 2. PML memberi “katekese” tentang fungsi masing-masing lagu misa. Mis. tentang empat tujuan dari lagu Pembuka.- Tentang KS sebagai sumber dari syair lagu liturgi, artinya syair lagu liturgi bicara tentang Allah, bukan tentang pengalaman pribadi /  perorangan.

no 3. Team PML memberi tugas kepada masing-masing kelompok ( 3-6 orang) berupa naskah KS untuk diolah menjadi syair lagu dengan diperkaya dengan unsur hidup masyarakat; dengan dipilih struktur lagu yang ingin dipakai (sahut-menyahut, berbait, resitatif…) Syair diatur secara ritmis spy mudah dinyanyikan.

no 4. Masing-masing kelompok mencari lagu tradisional yang cocok dengan tema / tujuan lagu yg akan diciptakan. Syair tadi dinyanyikan dengan lagu tsb., lagu maupun kata disesuaikan sampai dirasa cocok. – Ini butuhkan waktu cukup lama.- Artinya lagu baru lahir dari nyanyi, tidak ditulis notnya.

Kalau dirasa puas, lagu baru direkam. Team PML membantu menulis not sesuai dengan rekaman kelompok.

no 5. Dalam pleno masing-masing kelompok membawakan lagu mereka sambil naskah ditayangkan dan dapat ditanggapi oleh semua peserta. Koreksi dicatat oleh kelompok dan team PML untuk diperbaiki.

Lagu yang sudah baik disyahkan oleh pleno. Team PML / panitia langsung mengetik naskah baru dengan rapi sehingga pada akhir lokakarya semua peserta dapat membawah hasil lokakarya ke rumah masing-masing.

no 6. Untuk beberapa lagu team PML menyusun aransemen yang diinspirasikan oleh musik tradisional ybs. Lagu yg baru itu dilatih dengan paduan suara paroki dan dipakai dalam misa penutupan lokakarya, sambil didiringi dengan alat musik lokal.

 Nampaknya di situlah Roh Kudus sedikit banyak campur tangan… Maka lagu tradisional yang berdebu bisa menjadi menarik dalam rupa lagu inkulturasi; lagu yang semula asing di telinga umat seperti lagu pelog "Raja Agung" (MB 510), lama kelamaan menjadi lagu kesayangan umat, karena "mampu mengungkapkan apa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata", atau dengan kata R. Sunu SJ: memiliki nilai afektif / mampu menggerakkan hati. - Maka sudah jelas: musik tradisional berpotensi untuk menggerakkan hati dan dengan demikian mampu menjadi sumber untuk inkulturasi. 

 ad 3. Perlukah Gereja Indonesia mencari identitasnya dalam lagu inkulturasi?

Sebenarnya Gereja Katolik Indonesia punya identitasnya dalam jaringan internasional Gereja Roma, dengan lagu Gregorian, dengan doa untuk Sri Paus dll. Gereja Katolik membanggakan diri sebagai "Gereja universal". Apakah masih perlu dicari indentitas sebagai Gereja Katolik Indonesia dengan ciri yang khas?

Konsili Vatikan menjelaskan bahwa "Allah yang mewahyukan Dir kepada umat-Nya hingga penampakan Dirinya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman." (GS 58). Inkarnasi tidak hanya terjadi satu kali 2000 tahun yang lalu. Inilah yang diuraikan oleh Paus Yohanes Paulus II: "Istilah akkulturasi atau inkulturasi... dengan tepat sekali mengungkapkan satu faktor misteri agung Inkarnasi... Kekuatan Injil di mana pun juga menimbulkan perubahan dan kelahiran baru. Bila kekuatan itu merasuki kebudayaan, tidak mengherankan bahwa banyak unsur kebudayaan itu dijernihkan atau diluruskan olehnya."[3] Tuhan ingin menjelma terus di tiap negara dan zaman (Why 3:20); Tuhan ingin hadir dalam feeling kita. Maka kita pakai bahasa pribumi dalam liturgi, maka kita pakai lagu yang menyentuh hati. “Tuhan baru lahir di dunia kalau Dia lahir di dalam dirimu”, kata St. Agustinus. -

Ini teologi; namun sudah lama menjadi nyata dalam nyanyian inkulturasi. Yang istimewa dalam Gereja Indonesia adalah kebhinnekaan suku: ungkapan iman orang Jawa yang mendalam dapat juga membantu orang Flores yang umumnya mengungkapkan iman dengan lagu gembira dan sebaliknya lagu Flores dapat memberi pencerahan pada iman orang Jawa. Ungkapan iman orang Batak yang mantap dapat membantu orang Katolik di tengah masyarakat yang beragama lain. Ungkapan iman orang Mentawai dalam "healing music" dapat juga membantu orang Jakarta yang stress.

Maka Gereja Indonesia perlu mencari identitasnya dalam lagu inkulturasi. Rasa jenuh dengan lagu lama dapat dienyahkan dengan lagu segar dan berbobot dari kekayaan budaya Nusantara.

Bhinneka tunggal ika tidak hanya terdapat di dalam politik Indonesia tetapi juga dalam Gereja.

Ungkapan iman dalam lagu inkulturasi dari daerah lain dapat memperkaya iman kita: partisipasi pada suka dan duka saudara kita. Sekaligus Inkulturasi musik Gereja memberi suara pada umat yang terpencil / dilupakan. Syukur di Indonesia musik Gereja kaya akan inkulturasi, tinggal dipakai.

Konsili Vatikan II menegaskan: Liturgia semper reformanda est / Liturgi harus senantiasa dibaharui. Inkulturasi lagu liturgi termasuk di situ.

Karl-Edmund Prier sj


Catatan kaki: 

[1] Karangan ini merupakan rangkuman dari makalah saya dalam webinar tgl 3 Juli 2021 yang diselenggarakan dalam kerjasama PT Kanisius dan PML Yogykarata.

[2] Lihat Pendahuluan dalam buku "Kula sowan Gusti", Kumpulan Gendhing Gereja karangan Cajetanus Hardjasoebrata. Terbitan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta 1987.

[3] Paus Yohanes Paulus II dalam "Catechesi tradendae" no. 53; Dok Pen KWI no. 28, Jakarta 20114

Komentar

Postingan populer dari blog ini