Desiderio desideravi
Sejak dulu beredar kalimat "Jesuita nec
cantat, nec rubricat" / "Seorang Yesuit tidak bernyanyi dan tidak
memperhatikan peraturan liturgi". Mungkin ada yang benar juga. Karena Sri
Paus Fransiskus tidak bernyanyi (karena paru-parunya tinggal 50%), karena
banyak Yesuit sibuk dengan menulis buku dan bekerja di lapangan.
Namun demikian, pada pertengahan tahun yang
lalu Sri Paus Fransiskus menulis Surat Apostilik dengan judul "Desiderio
desideravi". Nampaknya Roma telah menerima banyak keluhan dari mana-mana
bahwa pengetahan tentang liturgi amat kurang. Dalam dokumen ditulis, "Saya
menginginkan agar surat ini membantu kita mengobarkan kembali kekaguman kita akan keindahan kebenaran
perayaan Kristiani, untuk mengingatkan kita akan perlunya formatio liturgi yang
otentik, dan untuk menyadari pentingnya ars
celebrandi [1]sebagai pelayanan pada kebenaran
Misteri Paska dan partisipasi semua orang." (DD 62).- Saya rasa dokumen
ini merupakan suatu sumber inspirasi untuk menghidupkan liturgi kita di Indonesia.
Apa yang dikatakan Sri Paus?
Sri Paus memilih sebagai titik pangkal Sabda
Yesus dalam perjamuan terakhir (Lk 22:15): " / "Betapa Aku telah
merindukan saatnya untuk merayakan perjamuan bersama kalian". Liturgi
menjamin kemungkinan perjumpaan dengan
Tuhan. "Kita perlu hadir pada Perjamuan itu untuk dapat mendengar suara-Nya,
untuk menyantap Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya. Kita membutuhkan Dia." (DD
11).
"Semua orang telah diundang. Atau lebih
baik dikatakan: semua telah digerakkan oleh kerinduan yang membara Yesus... Kerinduan-Nya
tidak akan terpuaskan sebelum setiap orang dari setiap suku, dan bahasa, dan
kaum, dan bangsa ikut serta makan Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya. Dan untuk
alasan inilah Perjamuan yang sama akan dihadirkan dalam perayaan Ekaristi
sampai kedatangan-Nya kembali." (DD 4).
Artinya liturgi
adalah tempat perjumpuan dengan Kristus. "Di sinilah terletak semua
keindahan liturgi yang kuat...Iman Kristiani tidak bisa tidak adalah perjumpaan
dengan Dia yang hidup." (DD 10). Ini
diuraikan terjadi dalam sakramen Baptis (DD 12-13), dalam Gereja sebagai
sakramen Tubuh Kristus (DD 14-15). Maka Konsili menegaskan pentingnya
partisipasi seluruh umat secara penuh, sadar, aktif dan berbuah (SC 11; 14).
"Dengan surat ini saya hanya ingin mengajak seluruh Gereja untuk menemukan
kembali, menjaga dan menghayati kebenaran dan kuasa perayaan Kristiani. Saya
ingin ... keindahan perayaan
Kristiani tidak dirusak oleh pemahaman yang dangkal." (DD 16).
Dirusak: bila iman Kristian diperkecil
menjadi subyektivisme; artinya "liturgi tidak mengatakan 'aku' tetapi
'kita'" (DD 19). - Dirusak: bila peran kasih karunia dibatalkan demi "elitisme
narsistik dan otoriter" - maksudnya bila oknum-oknum tertentu mengutamakan
peraturan sambil melupakan hasrat hati umat. (DD 17). "Liturgi merupakan
penangkal paling efektif terhadap racun-racun ini... Liturgi bukan upacara
dekoratif atau sekadar sejumlah hukum dan peraturan yang mengatur
peribadatan." (DD 18). - Dirusak: bila kita anggap keselamatan dapat
diperoleh melalui usaha kita sendiri seakan-akan kita bisa bermegah di hadapan
Tuhan atau di hadapan saudara-saudara kita." "Liturgi tidak ada
hubungann dengan moralisme asketis. Liturgi adalah karunia misteri Paska Tuhan
yang membuat hidup kita baru."(DD 20).
Setelah catatan tentang liturgi pada umumnya dokumen
ini menjadi konkrit mulai no. 21:
"Setiap hari kita dituntut untuk menemukan kembali keindahan kebenaran
perayaan Kristiani."
"Namun Liturgi bukanlah pencarian estetika
ritual yang dipuaskan hanya dengan ketaatan yang cermat terhadap rubrik-rubrik.
Sebaliknya liturgi tidak boleh dikacaukan dengan kedangkalan yang ceroboh."
(DD 22)
"Setiap aspek perayaan harus dijaga dengan
hati-hati: ruang, waktu, gerak tubuh, kata-taka, perlengkapan liturgi, busana,
lagu musik." (DD 23). Yang penting: rasa
kagum tentang misteri Paska (DD 24). "Kekaguman adalah bagian esensial
dari tindakan liturgi" (DD 26). Masalahnya, "manusia modern tidak
bisa lagi membaca simbol; tugas pertama formatio liturgi: manusia harus sekali
lagi menjadi mampu memahami simbol-simbol." (DD 44). Penting pengetahuan
tentang liturgi disebarkan di luar lingkungan akademis, dengan cara yang dapat
diakses, sehingga setiap orang beriman dapat tumbuh dalam pengetahuan tentang
makna teologis Liturgi... Inilan mendasari setiap jenis pemahaman dan setiap
praktei liturgi. Inijuga menjadi dasar perayaan itu sendiri, membantu setap dan
sema orang untuk memperoleh kapasitas guna memahami teks-teks doa, dinamika
ritual dan makna antropolgisnya." (DD 35).
Sebaliknya terjadi formatio liturgis melalui
partisipasi pada perayaan liturgi (DD 40). Maka tidak penting pengetahuan
tentang liturgi. Tetapi bahwa kita taat pada tindakan Roh yang bekerja melalui
Liturgi sampai Kristus dibentuk di dalam kita. Kepenuhan dari formatio kita adalah keselarasan
kita dengan Kristus, dengan menjadi seperti Dia. (DD 41).
Sebagai sarana untuk menjalakan formatio ini dan untuk makin mengerti
simbol-simbol liturgi, perlu cara merayakan yang sesuai, ars celebrandi / seni perayaan. "Ars celebrandi tidak dapat
direduksi menjadi mekanisme rubrik, apalagi dianggap sebagai kreativitas
fantasi - terkadang liar - kreativitas tanpa aturan. Norma tidak pernah menjadi
tujuan itu sendiri, tetapi selalu melayani realitas yang lebih tinggi."
(DD 48). Seperti dalam seni apa pun, ars celebrandi membutuhkan berbagai jenis
pengetahuan: pemahaman yang dinamis tentang Misteri Paska sehingga umat dapat
mengalami perubahan dalam hidup mereka sendiri melalui partisipasi dalam
liturgi. (DD 49).
"Ars celebrandi harus selaras dengan tindakan Roh. Hanya dengan cara
ini, ia akan bebas dari subjektivisme yang merupakan buah dari dominasi selera
individu. Hanya dengan cara ini akan bebas dari invasi unsur-unsur budaya yang
diambil tanpa discernment dan yang tidak ada hubungannya dengan pemahaman yang
benar tentang inkulturasi" (DD 49).
Ars celebrandi bukanlah sesuatu yang bisa
diimprovisasi. "Untuk seorang pengrajin, teknik saja sudah cukup. Tapi
bagi seorang seniman selain pengetahuan teknis, juga harus ada inspirasi… Diperlukan
dedikasi yang terus menerus untuk perayaan itu, yang memungkinkan perayaan itu sendiri menyampaikan kepada kita seninya.
Kita harus mendapatkan kembali pengertian yang gaya berdoa yang agung. Namun
cara untuk mencapainya adalah melalui disiplin, dengan melepaskan
sentimentalitas yang lebah, melalui kerja serius dalam ketaatan kepada Gereja.
Dengan demikian ars celebrandi dipelajari." (DD 50)
Ini tidak hanya berlaku untuk petugas liturgi,
tetapi ini adalah sikap yang perlu untuk semua umat beriman seperti "semua tata gerak dan kata-kata seperti
berkumpul, berjalan khidmat dalam prosesi, duduk, berdiri, berlutut, bernyanyi
hening, aklamasi, memandang, mendengarkan." "Melakukan tata gerak
yang sama secara serentak, berseru dalam satu suara, ini menyalurkan energi
kepada masing-masing orang..., yang membentuk kita, yang mengatur tata batin
kita, menghidupkan perasan, sikap dan perilaku kita." (DD 51).
"Di antara tata gerak ritual yang
dilakukan oleh seluruh umat, keheningan
menempati tempat yang sangat penting… Keheningan liturgi adalah simbol
kehadiran dan tindakan Roh Kudus yang menjiwai seluruh tindakan perayaan:
keheningan bergerak ke kesedihan karena dosa dan keinginan untuk pertobatan. Keheningan membangkitkan kesiapan untuk
mendengar Sabda Allah dan menatunkan doa. Keneningan membuat kita memuji Tubuh
dan Darah Kristus. Keheningan menunjukkan kepada setiap orang apa yang Roh
Kudus hasilkan dalam hidup kita. Melalui keheningan Roh memberi kita wujud,
memberi kita bentuk." (DD 52).
Secara khusus untuk imam Sri
Paus menunjukkan "dosa" mereka dalam merayakan liturgi, seperti
ketaatan yang kaku atau kreativitas yang berlebihan,spritualisasi mistisisme
atau fungsionalimse praktis, terlalu cepat atau terlalu lama, kesmbronoan yang
ceroboh atau kerewlan yang berlebihan, keramahan yang berlebihan atau
ketidakpedulian hierarkis. (DD 54)."Agar pelayanan ini dilakukan dengan
seni yang baik, sangatlah penting bahwa imam memiliki kesadaran yang tajam akan
kehadiran khusus dari Tuhan yang telah bangkit... Fakta ini memberikan bobok
"sakramental" untuk semua tata gerak tubuh dan kata-kata dari yang
memimpin... Umat memiliki hak untuk dapat merasakan... kerinduan yang dimiliki
Tuhan pada Perjamuan Terakhir untuk makan Paska bersama kita." Jelas seni
perayaan ini tidak dapat diimprovisasi tetapi berarti imam harus menyelamkan
diri dalam "api kasih Tuhan yang Dia lemparkan untuk menyala di bumi (Luk
12:49)." (DD 57). Artinya,
imamterus menerus dibentuk oleh tindakan perayaan.
Dokumen ini diakhiri dengan himbauan yang menarik: "Marilah kita
meninggalkan polemik kita untuk bersama-sama mendengarkan apa yang dikatakan
Roh Kudus kepada Gereja. Marilah kita menjaga persekutuan kita. Marilah kita
tetap kagum akan keindahan Liturgi."
(DD 65).
-------
Naskah ini perlu didiskusikan:
dalam rapat Seksi Liturgi Paroki, dalam Komunitas rohaniwan-rohaniwati, dalam
penataran petugas liturgi, dalam pertemuan pastor:
Apa yang baru dalam
pengertian liturgi?
Apa yang dapat dirubah untuk
mempermudah kita berjumpa dengan Tuhan dalam liturgi?
Bagaimana liturgi dapat
dijadikan peristiwa yang mengagumkan / mempesona?
Yogyakarta, 14 Maret 2023
Karl-Edmund Prier sj
Komentar
Posting Komentar